Harmoni Keluarga Poligami
[Oleh Ania Maharani]
Bimo Cakra Seno, keponakan kecilku terbaring tanpa daya di kasur biru itu. Aku alihkan pandanganku ke sang Ibu, kakak sepupuku yang sangat tertekan karena permasalahan keluarga. Bukan karena masalah keluarganya yang poligami melainkan lilitan hutang yang menimpa orang tuanya. Hal ini menyebabkan produksi ASI kakakku menurun sehingga menyebabkan anaknya dehidrasi akut dan harus dirawat di RS.
Dulu, pamanku sempat memberontak karena anaknya mengambil keputusan untuk menjadi isteri kedua. Ya. Kakakku menerima lamaran dari seorang pria yang beristri. Saat itu usia kakakku masih belia dan belum lulus kuliah. Mulanya, aku tak paham apa alasannya untuk berpoligami. Hampir setiap anggota keluarga mencemoh keputusan kakakku. Namun keteguhan kakakku untuk berpoligami tidak goyah. Dia tetap menikah dengan pria itu dan membangun keluarga sakinah bersama isterinya yang pertama. Kakakku akhirnya melahirkan seorang putera yang menjadi permata dalam keluarganya. Sebaliknya, sang isteri pertama mengalami penyakit kanker serviks sehingga jalan untuk menghasilkan keturunan terhambat. Namun dia menerima kakakku apa adanya dan menganggapnya sebagai adik sendiri. Bahkan untuk kondisi tertekan ini, kak Yammah, sang isteri pertama, selalu mendampingi kakakku dan merawat Bimo dengan setulus hati.
Kerukunan yang aku lihat dalam keluarga poligami kakakku bukanlah sebuah sandiwara yang dibuat-buat oleh pelakunya. Kak Yammah begitu menerima kehadiran kakakku dan menjadikan keluarga poligami ini sebagai ladang amal dalam hidupnya. Semula, keluarga kak Yammah pun tidak setuju akan rencana poligaminya. Namun hasrat untuk memiliki sebuah keturunan meskipun bukan dari rahimnya sendiri menjadi pertimbangan yang terpenting dalam keputusannya.
Di ruang Flamboyan itu, aku bertanya kepada kak Yammah, “Pernah ga sih, Kak Yammah merasa cemburu dengan Kak Ori? Hehe...Jangan marah ya, Kak.”
Kemudian kak Yammah menjawab, “Sebagai rasa manusiawi, pernah juga, dek. Kak Ori mahir menjahit dan cukup ulet dengan keterampilan yang dimiliki. Dia juga cukup cerdas karena pernah lulus kuliah. Kadang aku merasa minder karena belum pernah merasakan jadinya sarjana."
“Yah, tapi kan Kak Yammah lebih pinter memasak daripada Kak Ori. Jadi kalian saling melengkapi, kan, Kak?”
“Hyum... Bener juga, ya? Tapi, kak Habib juga ga pernah membedakan antara kemampuan kami, kok, dek...Makanya, ku merasa nyaman dan tidak pernah mempersoalkannya. Oh ya, gimana tanggapan ta’aruf dari ikhwan fullan itu?”
“Kok, pertanyaan kak Yammah jadi ganti topik, sih? Perasaanku masih belum netral, Kak. Masih banyak pertimbangan,” jawabku dengan wajah memerah.
“Ya sudah, diistikharahkan dulu saja. Semoga dapat keputusan yang terbaik, ya,“ saran kak Yammah sambil memperbaiki letak infus Bimo.
Sekali lagi, aku merasakan ketulusan kak Yammah dalam membina keluarga poligaminya ini.